Iklan

,

Iklan

.

Abdul Kohar Anggota DPRD Kota Sukabumi Partai PKS Lantang Bersuara Terkait Honor Guru Madrasah "Pelecehan Dibungkus Formalitas"

REDAKSI
Senin, 02 Juni 2025, 08.23.00 WIB Last Updated 2025-06-02T01:23:49Z

 


NASIONAL KINI | SUKABUMI -  “Bayangkan. Rp100 ribu sebulan, untuk membina akhlak generasi bangsa. Itu bukan honor. Itu pelecehan yang dibungkus formalitas,” ujar Kohar, dikutip dari @Medsos Fb Abdul Kohar, hari Senin (02/06/2025).


Saat reses ke-3, Anggota DPRD Abdul Kohar kembali menerima keluhan yang menyentuh sekaligus menyayat hati. Bukan soal infrastruktur, bukan pula soal proyek raksasa—melainkan soal nasib orang-orang kecil yang justru menjadi tulang punggung pembangunan moral dan kesehatan masyarakat.


Seorang guru madrasah yang juga guru ngaji menyampaikan fakta pahit: honor mereka yang semula Rp150 ribu per bulan, kini hanya Rp100 ribu. Dan itu belum dipotong pajak dan biaya administrasi bank.


Keluhan tak berhenti di situ. Para kader Posyandu kini tak lagi menerima insentif yang dulu meski kecil, Kini benar-benar nihil. Padahal mereka bekerja mendata balita, memantau ibu hamil, menyambangi rumah warga—tugas-tugas yang oleh regulasi bahkan disetarakan dengan peran RT dan RW.


“Mereka digerakkan oleh niat. Tapi apakah negara pantas membalas niat tulus itu dengan pengabaian?” tambahnya.


 Ketika Rakyat Melek Regulasi, Eksekutif Masih Melek Proyek


Hal menarik yang muncul dari pertemuan itu adalah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap regulasi. Warga tahu, kader Posyandu bekerja berdasarkan aturan yang jelas. 


Warga juga tahu, penggunaan lahan pribadi untuk pemasangan tiang internet harusnya disertai izin dan ganti rugi. Namun kenyataan di lapangan berbeda.


“Warga mulai cerdas, tapi justru pemerintah yang tetap mengabaikan,” sindir Kohar.


Tak berhenti di menyerap aspirasi, Kohar menegaskan bahwa semua keluhan tersebut sudah ia sampaikan melalui jalur resmi: lintas fraksi, lintas komisi.


“Semua sepakat ini penting. Tapi giliran sampai ke meja eksekutif, jawabannya seragam: ‘Anggaran tidak ada.’”


Lalu siapa yang berbohong?


Transparansi dan Keberpihakan Dipertanyakan


Anggaran yang katanya tidak ada, justru ditemukan dalam bentuk proyek-proyek bernilai miliaran rupiah yang tak pernah diminta rakyat. Transparansi keuangan publik masih sebatas slogan. 


Laporan anggaran sulit diakses, bahkan oleh masyarakat yang ingin tahu ke mana uang pajaknya mengalir.


“Saya tidak mau menjadi dewan yang hanya ada di baliho. Saya hadir menyimak langsung jeritan rakyat. Aspirasi ini tidak boleh mati di meja notulen,” tegas Kohar.


 Ajakan untuk Perubahan


 “Kalau suara rakyat tak kunjung dianggarkan, maka suara dewan tak boleh diam. Kita butuh keberanian, bukan hanya persetujuan. Saya berdiri di barisan rakyat.”


Di akhir sesi, Abdul Kohar mengajak seluruh unsur legislatif untuk bersikap lebih berani. 


Penulis: DSU

Iklan