NASIONAL KINI ■ Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengungkapkan ada dorongan kuat dari publik agar MPR RI dapat menghadirkan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Antara lain datang dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Rektor Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu. Hal itu muncul dari safari kebangsaan yang dilakukan pimpinan MPR RI beberapa waktu lalu sebelum pandemi covid-19.
Focus Group Discussion (FGD) 'Restorasi Haluan Negara Dalam Paradigma Pancasila', di MPR RI, Jakarta, Senin (9/11/20), juga memberikan hasil serupa. Para pakar dan akademisi yang tergabung dalam Forum Rektor Indonesia, Aliansi Kebangsaan, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, memiliki pandangan bahwa Indonesia harus memiliki haluan negara. MPR RI sebagai Rumah Kebangsaan yang terdiri dari anggota DPR RI dan DPD RI menjadi lembaga yang tepat dalam membuat dan menetapkan PPHN.
"Dari hasil survei yang dilakukan MPR RI periode 2014-2019, sebanyak 81,5 persen responden menyatakan perlu reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN, dan hanya 18,5 persen yang menjawab tidak perlu. Alasan yang paling dirasakan dan yang paling dekat dengan kepentingan masyarakat adalah karena saat ini pelaksanaan pembangunan nasional dianggap tidak berkesinambungan," ujar Bamsoet saat menjadi pembicara utama di acara FGD 'Restorasi Haluan Negara Dalam Paradigma Pancasila', di Gedung MPR RI, Jakarta, Senin (9/11/20).
Turut hadir secara virtual para Wakil Ketua MPR RI antara lain Ahmad Muzani, Hidayat Nur Wahid, dan Arsul Sani. Hadir secara fisik antara lain Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia Nasrullah Yusuf, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof. Satryo Sumantri Brodjonegoro, dan Ketua Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Dr. Alfitra Salam. Serta para narasumber FGD Prof. Ravik Karsidi dari Forum Rektor Indonesia, Prof. Sofian Effendi dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Yudi Latif, Ph.D dari Aliansi Kebangsaan.
Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, keberadaan PPHN tidak akan mengembalikan posisi presiden sebagai mandataris MPR RI, tidak akan mengembalikan kedudukan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara, dan tidak akan mengganggu sistem presidensial pemilihan presiden-wakil presiden secara langsung oleh rakyat. PPHN hanya memastikan agar pembangunan tetap berkelanjutan, serta adanya integrasi sistem perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah.
"Negara besar seperti China, India, dan Rusia, maupun negara seperti Singapura saja memiliki haluan negara. China, misalnya, dalam salah satu haluan negaranya menyatakan akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi pertama dunia di tahun 2030. Keberadaan PPHN di Indonesia juga tak jauh beda seperti di berbagai negara lainnya. Didalamnya memuat tujuan yang ingin dicapai bangsa Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Sebagai gambaran awal, PPHN bisa menggambarkan apa yang ingin dicapai Indonesia pada usia kemerdekaannya yang ke-100 di tahun 2045. Mulai dari pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia, ataupun lainnya. Bagaimana cara mewujudkannya, diserahkan kepada presiden-wakil presiden terpilih," jelas Bamsoet.
Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menerangkan, dengan demikian PPHN akan menjadi landasan visi-misi bagi kandidat presiden-wakil presiden yang maju dalam Pilpres. Dengan demikian, arah pembangunan bangsa lebih terencana. Setiap presiden-wakil presiden akan bekerja sesuai haluan negara. Bukan bekerja sekehendak hatinya, apalagi sesuai pesanan konsultan politik semata.
"Pentingnya kehadiran haluan negara dapat dianalogikan sebagai berikut, jika diibaratkan Indonesia adalah sebuah bahtera besar yang sedang berlayar mengarungi samudera luas, apakah memerlukan haluan ke mana kapal ini akan menuju? Atau, percayakan saja kepada nakhoda ke mana bahtera ini akan diarahkan. Ke kanan boleh, ke kiri boleh, zig zag boleh, atau mau putar haluan pun juga boleh?. Jawabannya tentu saja tidak. Indonesia memerlukan haluan untuk menuju tujuan yang dicita-citakan bersama," terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menambahkan, dalam FGD tersebut, Prof. Ravik Karsidi dari Forum Rektor Indonesia memaparkan tiga skenario mengembalikan kembali keberadaan haluan negara dalam sistem ketatanegaraan berbangsa dan bernegara. Alternatif pertama, melalui amandemen terbatas UUD NRI 1945 untuk memberikan kewenangan kepada MPR RI untuk membuat dan menetapkan PPHN.
"Alternatif kedua, merevisi UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, UU No. 17/2014 tentang MD3, serta UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Alternatif ketiga melalui konvensi ketatanegaraan. Pilihan paling rasional dan paling banyak disuarakan adalah alternatif pertama, yakni melalui amandemen terbatas UUD NRI 1945," pungkas Bamsoet. (*)